MEMBUMIKAN FIKIH MAZHAB NEGARA DI INDONESIA
Fikih dan Kanun senantiasa bersinergis dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi dalam upaya mentranformasikan fikih Islam ke dalam hukum nasional, sehingga fikih menjadi hukum positif. Hal ini sudah diusahakan oleh bangsa Indonesia, seperti adanya Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden RI tahun 1991), Undang-undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan masih banyak yang lainnya mengenai aturan fikih lainnya yang dikanun-kan. Semuanya itu berkaitan dengan bidang muamalah secara luas. Bagaimana jika dalam bidang ibadah dikanun-kan ? Sebenarnya sudah ada dalam bidang ibadah contohnya ibadah haji dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-undang.
Marzuki Wahid menyebutkan jika fikih menjadi mazhab negara artinya menggeser dari hukum Tuhan ke hukum negara. Ungkapan fikih mazhab negara menurutnya untuk konteks sekarang lebih relevan dari pada ungkapan fikih Indonesia, fikih Mesir, fikih Hijaz, dan fikih Bagdad. Dikatakan demikian, karena tidak jelas kepada siapa pertanggungjawaban ilmiah dan moral itu ditujukan. (Marzuki Wahid, 2014).
Sebuah negara hukum, seperti Indonesia tidak terlepas dari istilah hukum, yang dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, norma hukum metayuridik. Norma hukum ini berisi nilai-nilai abstrak, seperti keadilan dan kepatutan. Kedua, norma hukum positif. Norma hukum ini berupa aturan-aturan hukum dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Daerah, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Hakim. (Ratno Lukito, 2022). Hukum positif maksudnya aturan-aturan hukum efektif yang berlaku dalam suatu bangsa. Dasar filosofinya adalah sesuatu itu disebut hukum jika secara eksplisit berupa perintah dari penguasa. Dalam tekniknya, hukum positif ini berupa aturan tertulis yang diberlakukan oleh suatu wilayah dan negara tertentu. Sehingga dikeluarkan oleh badan resmi negara yang mempunyai otoritas dalam melakukan Kanunisasi. (Ratno Lukito, 2022).
Sesuai karakternya, fikih Islam sifatnya dinamis dan fleksibel, dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Kendatipun demikian, dapat dijadikan referensi guna menjelaskan hukum yang secara eksplisit tidak dijelaskan dalam nas hukum Al-Qur’an dan hadis. Karakter demikian menyebabkan kaum muslimin diperbolehkan bebas memilih pendapat atau mazhab tertentu sesuai dengan situasi dan illat hukum (rasio legis) yang mengitarinya. Demikian pula sebuah negara diperbolehkan memberlakukan suatu pendapat atau mazhab yang cocok dengan budaya tersebut. Namun, jika aturan fikih Islam tersebut jika dintervensi oleh pemerintah sehingga menjadi sebuah Kanun sehingga menjadi mazhab negara, maka karakternya berubah yang semulanya tidak mengikat menjadi mengikat.
Negara mempunyai kewenangan memilih suatu mazhab fikih tetentu, kemudian mencantumkannya dalam sebuah Kanun. Sehingga masyarakat wajib mematuhinya. Dan negara pun dapat memberlakukan sanksi yang berlaku jiga masyarakat tidak mematuhinya. (Ahmad Sukarja & Mujar Ibnu Syarif, 2012). Dalam halnya ini ada baiknya dikutif kaidah fikih yang dikemukakan Syihabudin al-Qurafi (w. 684 H), seorang ulama bermazhab Maliki dalam karyanya “Al-Furuq” yang cocok jadi panduan ketika di suatu masyarakat tertentu terjadi kontroversi terkait fikih Islam yang domainnya hasil ijtihad. Kaidahnya sebagai berikut :
إنّ حكم الحاكم في مسائل الإجتهاد يرفع الخلاف.
Sesungguhnya keputusan hakim dalam permasalahan ijtihad dapat menetralisasi perbedaan pendapat.
Menurut penjelasan Al-Qurafi ketika suatu masyarakat mengalami kontroversi masalah fikih Islam karena perbedaan metodologi ijtihad sesuai dengan mazhab yang dipakai, maka dapat mengembalikannya kepada mazhab Hakim. Karena Allah menjadikan hakim sebagai pemelihara hukum (munsyi al-hukm) dalam persoalan yang menjadi domain ijtihad sesuai argumen yang dikemukakannya. Sehingga keputusan hakim pun mengikat dan posisinya sebagai pembawa kabar dari Allah melalui keputusannya.
Aplikasi kaidah fikih tersebut erat kaitannya dengan permasalahan fikih Islam yang di dalamnya berpotensi adanya kontroversi yang sering terjadi di masyarakat. Contohnya seperti tentang penetapan tanggal Ramadan, dan tanggal 1 Syawal. Namun, dalam upaya menjembatani adanya potensi kontroversi tersebut, Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini telah mengeluarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Fatwa tersebut memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab oleh Pemerintah cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Selanjutnya umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah tersebut. Dan pemerintah pun wajib berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam dan instansi terkait.
Fatwa tersebut secara implisit mengandung arti pemerintah dalam hal ini sebagai hakim bertanggung jawab di depan Allah dan masyarakat. Dapat dipahami yang semula fatwa itu karakternya tidak mengikat, tapi mendapat legitimasi pemerintah yang statusnya sebagai hakim, maka berubah sifatnya mengikat. Sehingga menjadi hukum positif dan fikih mazhab negara. Membumikan fikih mazhab negara seperti di Indonesia tidak lepas teori ilmu usul yang dikenal maslahah mursalah. Demikian pula sesuai dengan makna maqasid al-syariah.
Indahnya kolaborasi antara MUI sebagai mufti dan hakim (pemerintah) mendapatkan perhatian serius dari Syihabudin al-Qurafi dalam karya lainnya “Al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa an al-Ahkam”. Hakim statusnya sebagai wakil Tuhan dan Mufti statusnya sebagai penerjemah dalam hukum. Keduanya tidak diperkenankan memutuskan hukum karena dorongan hawa nafsu. Dan untuk konteks zaman sekarang menurut menulis contohnya keputusan tersebut terpengaruh faktor politik tertentu atau yang lainnya sehingga tendensius kepada golongan tertentu.
Jika kaidah fikih yang jadi solusi terhadap kontroversi terkait fikih Islam sebagaimana yang telah disebutkan Al-Qurafi tersebut belum atau sulit teramalkan dalam konteks budaya Indonsia, maka hendaknya seyogyanya di antara kita saling menghormati dan arif dalam menyikapinya, karena adanya kontroversi hasil domain ijtihad masih diangap wajar, seperti mengenai keputusan penetapan 1 Syawal. Hal ini guna mendatangkan rahmat, bukan perpecahan. Wallahu A’lam bi al-Sawab.
Penulis : Enang Hidayat
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
KARAKTER PRODUK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
Tulisan saya ini mencoba mengelaborasi tulisan Muhammad Atho Mudzhar yang berjudul “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam” isinya membahas seca
KAIDAH FIKIH DAN KAIDAH USUL FIKIH PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA
Kaidah fikih dan kaidah usul fikih menjadi solusi bagi permasalahan fikih Islam yang bersumber dari corak berpikir induktif. Seandainya tidak ada kaidah fikih dan kaidah usul fikih, mak
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM HUKUM INDONESIA
Upaya bangsa Indonesia menerapkan ajaran hukum Islam telah dilaksanakan. Hal ini ditandai dengan upaya transformasi aturan hukum Islam ke dalam hukum nasional melalui terbitnya Undang-u
FLEKSIBILITAS FIKIH ISLAM
Istilah fikih Islam identik dengan hukum Islam. Namun, dalam belakangan istilah fikih Islam lebih banyak digunakan dalam literatur yang digunakan oleh ulama kontemporer. Contohnya Syekh
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
URGENSI HADIS HUKUM EKONOMI SYARIAH
Penulis menyebutnya dengan istilah hadis hukum ekonomi syariah, karena istilah tersebut lebih membumi di kalangan masyarakat, terutama masyarakat umum. Sehingga buku ini selain cocok ja
SINERGISME SUNI & SYIAH DALAM KAIDAH FIKIH MUMALAH
Tulisan ini merupakan serpihan hasil penelitian penulis berkenaan dengan kaidah fikih muamalah versi mazhab Suni dan Syiah program Litapdimas Kemenag RI Tahun yang selesai dilakukan akh