FLEKSIBILITAS FIKIH ISLAM
Istilah fikih Islam identik dengan hukum Islam. Namun, dalam belakangan istilah fikih Islam lebih banyak digunakan dalam literatur yang digunakan oleh ulama kontemporer. Contohnya Syekh Wahbah al-Zuhaili menulis “Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu”, Mustafa Ahmad al-Zarqa menulis “Al-Fiqh al-Islam fi Saubihi al-Jadid”. Belum lagi karya-karya dalam bidang tarikh tasyri, Ali al-Sayis menulis “Tarikh al-Fiqh al-Islami”, demikian pula Sulaiman al-Asyqar menulis “Tarikh al-Fiqh al-Islami”.
Dalam bahasa Amir Mualim dan Yusdani, karakteristik fikih Islam tidak terlepas dari fikih sebagai ilmu dan fikih sebagai hasil ilmu. Inilah yang didefinisikan oleh para para pakar. Fikih sebagai ilmu berisi hukum syarak yang bersifat praktis yang digali dalil-dalilnya secara terperinci. Sedangkan fikih sebagai hasil ilmu berisi kumpulan hukum Islam yang dihasilkan melalui metode ijtihad. Keduanya tidak terlepas dari upaya para ulama dalam memahami pesan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
Dalam praktiknya ditemukan karakteristik fikih sebagai hasil itu sendiri, termasuk fikih muamalah, Usman Sabir menyebutnya ruang lingkupnya ada yang bersifat statis (sabat) dan dinamis (murunat). Sekalipun fikih muamalah bersandar pada kaidah umumnya “Prinsip dasar dalam urusan muamalah dibolehkan sampai terdapat dalil yang membolehkannya”. Namun, dalam praktiknya kedua sifat tersebut tidak bisa dilepaskan. Sifat pertama (statis) berkaitan dengan sejumlah persoalan hukum yang tidak mengalami atau tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman, seperti haramnya riba, maisir, dan yang lainnya. Sedangkan sifat kedua (dinamis) berkaitan dengan persoalan yang mengalami perkembangan zaman, seperti alat tukar menukar dalam akad jual beli, khiar, dan yang lainnya. Sifat kedua ini selain berkaitan dengan zaman, juga tempat, keadaan, dan kebiasaan. Menurut penulis, selain urgensinya memahami kedua sifat tersebut, hal yang perlu diperhatikan oleh pemerhati kajian fikih Islam adalah pendekatan melalui kritik historis, sosiologis, kontekstual, dan taaqquli yang merupakan pendekatan urgen dalam memecahkan permasalahan fikih muamalah tersebut. Keempat kritik tersebut guna menghindari kekakuan dalam memahami fikih Islam secara umum. Contohnya persoalan khiar majelis demikian juga makna tafarruq dalam akad jual beli dari segi historisnya tdiak terlepas dari kisah turunnya hadis berkenaan dengannya sebagaimana dijelaskan dalam beberapa literatur fikih dan hadis. Kendatipun demikian, para ulama sepakat dalam memahami khiar. Namun, dalam memahami tafarruq timbul kontroversi. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memahaminya tafarruq bi al-kalam, sedangkan Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibn Hazm memahami tafarruq bi al-abdan. Bagi ulama yang memahami tafarruq bi al-kalam, selepas ijab dan kabul diungkapkan secara sempurna, maka akad bersifat lazim. Konsisten berkenaan dengan kelaziman akad yang menjadi pemikiran kedua ulama tersebut. Di sinilah antara penjual dan pembeli sebelumnya diberikan kesempatan untuk merenungkan secara matang dalam melaksanakan akad. Sedangkan bagi ulama yang memahami tafarruq bi al-abdan, khiar putus karena antara penjual dan pembeli sudah berpisah dari majelis akad. Konsisten berkenaan dengan zahirnya majelis yang menjadi pokok pemikiran ketiga ulama tersebut. Selanjutnya jika melakukan pendekatan sosiologis, keadaan zaman dulu berbeda dengan konteks sekarang, yang berdampak pada pemahaman makna majelis akad. Hal ini dilatarbelakangi pemikiran para ulama dahulu tidak terlepas juga dari faktor suasana kehidupan dan tumbuhnya yang berpengaruh terhadap produk pemikirannya. Untuk zaman sekarang penjual dan pembeli tidak perlu secara langsung berhadapan atau bertemu, tapi cukup via media online. Selanjutnya kritik kontekstual diperlukan guna menghindari terjebaknya pemikiran yang terfokus kepada makna zahirnya akad melalui ucapan, tanpa mempertimbangkan hakikat atau tujuan akad itu. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih : “Yang dijadikan pertimbangan dalam akad adalah maknanya, bukan lafaznya”. Dan kritik taaqquli diperlukan karena persolan muamalah tidak terlepas dari interpretasi akal manusia sesuai lingkungan dan budayanya dalam memahami pesan yang terkandung dalam universalitas ruh fikih Islam. Kritik ini melahirkan pemahaman konsep tagyir yang dikemukakan al-Bazdawi guna membumikan fikih Islam. Dalam bahasa sederhana, tagyir ini berkaitan dengan transformasi fikih Islam ke dalam hukum nasional, seperti terbitnya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur perkawinan, wakaf, ekonomi syariah, dan yang lainnya. Transformasi ini secara implisit mengandung pesan fikih Islam yang berdialogis dengan budaya dan karaker Indonesia, tapi tidak melepaskan dan melupakan pemikiran serta tumbuh dan subur fikih Islam di lingkungan tumbuhnya para ulama terdahulu.
Penulis : Enang Hidayat
Dosen STISNU Cianjur
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
MEMBUMIKAN FIKIH MAZHAB NEGARA DI INDONESIA
Fikih dan Kanun senantiasa bersinergis dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi dalam upaya mentranformasikan fikih Islam ke dalam hukum nasional, sehingga fikih menjad
KARAKTER PRODUK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
Tulisan saya ini mencoba mengelaborasi tulisan Muhammad Atho Mudzhar yang berjudul “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam” isinya membahas seca
KAIDAH FIKIH DAN KAIDAH USUL FIKIH PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA
Kaidah fikih dan kaidah usul fikih menjadi solusi bagi permasalahan fikih Islam yang bersumber dari corak berpikir induktif. Seandainya tidak ada kaidah fikih dan kaidah usul fikih, mak
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM HUKUM INDONESIA
Upaya bangsa Indonesia menerapkan ajaran hukum Islam telah dilaksanakan. Hal ini ditandai dengan upaya transformasi aturan hukum Islam ke dalam hukum nasional melalui terbitnya Undang-u
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
URGENSI HADIS HUKUM EKONOMI SYARIAH
Penulis menyebutnya dengan istilah hadis hukum ekonomi syariah, karena istilah tersebut lebih membumi di kalangan masyarakat, terutama masyarakat umum. Sehingga buku ini selain cocok ja
SINERGISME SUNI & SYIAH DALAM KAIDAH FIKIH MUMALAH
Tulisan ini merupakan serpihan hasil penelitian penulis berkenaan dengan kaidah fikih muamalah versi mazhab Suni dan Syiah program Litapdimas Kemenag RI Tahun yang selesai dilakukan akh