AGAMA, NEGARA DAN KOHESI SOSIAL
Bukan tanpa alasan mengapa para pendiri bangsa (founding parents) merumuskan dan memproklamirkan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state), bukan sebagai negara agama (religious state). Jika flashback pada risalah sejarah perumusan dasar negara, hampir dipastikan Indonesia memilih “negara-agama” dengan diterimanya Piagam Jakarta yang mencantumkan 7 kata tambahan dalam sila pertamanya yaitu“dengan kewajiban menjalankan syari’ah islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Para pendiri bangsa sadar dengan corak dan karakter bangsa Indonesia yang majemuk (heterogenitas) termasuk multi etnis, multi agama, multi bahasa yang hanya bisa dibangun dan berdiri kokoh atas dasar penghormatan terhadap keberagaman, maka dipilihlah negara-bangsa (nation-state) sebagai upaya mempersatukan keseluruhan elemen bangsa tanpa harus didominasi dan didasarkan atas agama atau etnis tertentu.
Hebatnya lagi para tokoh agama (ulama) yang merumuskan dasar negara pada sidang PPKI semisal KH. Wahid Hasim dari NU dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhamadiyah lebih mengaminkan corak negara-bangsa ketimbang negara-agama, yang akhirnya pada tanggal 18 agustus tahun 1945 menerima untuk menghapus 7 kata tambahan dalam sila pertama pancasila.
Islam Moderat
Afirmasi ulama dan tokoh-tokoh agama terhadap pancasila sebagai dasar negara, merupakan pengejawantahan kecintaan / rasa nasionalisme (hubbul wathan) mereka terhadap tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika pada saat perumusan dasar negara saja para ulama dan tokoh bangsa sudah menyatakan bahwa pancasila dan NKRI adalah final, maka tak pantas dan sungguh naif kita sebagai generasi penerusnya kembali mempermasalahkan dasar negara.
Belakangan ini suara kelompok-kelompok anti NKRI semakin nyaring terdengar dengan megusung ideologi transnasional seperti para simpatisan eks organisasi yang telah dibubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menginginkan untuk merubah dasar negara pancasila menjadi dasar negara-agama (baca:khilafah). Jika pun benar mereka murni mengusung gerakan agama, maka tak sepantasnya mengkampanyekan gerakan-gerakan merubah dasar negara, selain tindakannya yang ahistoris, juga sedari awal berdirinya republik ini pancasila sudah diterima sebagai mitsaqon ghalidzo (modus vivendi) bangsa Indonesia.
Reaksi penolakan pun muncul dari berbagai pihak, salah satunya dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sebagai ormas terbesar di Indonesia bahkan didunia NU tetap konsisten untuk mempertahankan pancasila sebagai dasar negara. Konsistensi NU untuk tetap merawat dan menjaga NKRI agar tetap utuh, sebagai bukti bahwa NU mengkampanyekan islam rahmatan li al-alamin (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiya :107), dan juga memegang teguh prinsip attawassuth / islam moderat.
Islam moderat berdiri di jalan tengah dengan tidak mengusung gerakan islam fundamentalis yang mengkampanyekan formalisasi ajaran agama kedalam negara, juga tidak mempraktekan sekulerisasi yang menurut Robert Audi dalam bukunya “Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal” agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan bernegara (politik, sosial, ekonomi dll).
Islam moderat yang diusung oleh NU lebih memilih untuk memasukan substansi-substansi agama, ketimbang memformalisasinya kedalam hukum negara, juga tidak mendikotomikan antara agama dengan negara (politik), karena agama tetap harus mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menurut Imam al-Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa “agama dan negara adalah saudara kembar, agama sebagai pondasi dan negara sebagai bangunannya”.
Persatuan untuk Kesejahteraan
Agama dan negara jika ditarik pada satu titik realitas, maka akan bertemu pada satu hal yang substansif, yaitu bagaimana menciptakan persatuan dan perdamaian dalam masyarakat (umat) demi melangsungkan kehidupannya sehari-hari, atau meminjam istilah Emile Durkheim dikenal dengan istilah kohesi sosial (Social Cohesion) .
Jika merujuk definisi dari Council of Europe’s Strategy for Social Cohesion, Kohesi Sosial diarrtikan sebagai kemampuan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anggotanya termasuk dengan pemenuhan kebutuhan hidup didalamnya. Membedah definisi diatas maka ada dua hal pokok dalam paradigma kohesi sosial, yaitu pertama masyarakat yang aman dan damai (bersatu), kedua masyarakat yang terpenuhi segala kebutuhannya (sejahtera).
Dalam konteks islam langkah menciptakan persatuan dan perdamaian umat merupakan hal esensial yang bahkan telah dipraktekan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW pada saat membuat piagam madinah. Apakah Rasul memkasa orang yang tak seaqidah untuk menganut islam? Tidak, Rasul hanya menjalankan kewajiban berdakwah tanpa memaksa apalagi sampai menganiaya orang yang bersebrangan dengannya (laa iqroha fiddin), karena ada tujuan mulia yaitu menghormati perbedaan demi persatuan (united in diversity).
Dalam Al-Qur’an juga banyak ditemukan ayat-ayat yang menyeru untuk menciptakan persatuan dan perdamaian, “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal (innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat :13).
Karena perbedaan adalah hukum alam (sunatullah) sesuai firman Allah tersebut, dengan demikian dilarang adanya perpecahan diantara sesama umat manusia, seperti firman Allah juga: “Berpeganglah kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelah-belah/saling bertentangan (wa’tashimû bi habli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS ali-Imran :103).
Dalam hal menciptakan kesejahteraan masyarakat (bonum publicum), islam telah memberikan role model bagi para pemimpin negara untuk mendasarkan segala kebijakannya demi menciptakan kesejahteraan rakyatnya, adagium siyasah menyatakan; “Langkah dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf alimâm‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Dapat disimplifikasikan bahwa segala kebijakan publik (public policy) baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya haruslah mengutamakan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama.
Penulis : ISPAN DIAR FAUZI
Dosen STISNU Cianjur
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
TERMA “KAFIR” DALAM NEGARA HUKUM
Sesaat setelah diumumkannya rekomendasi Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Kota Banjar tentang status atau kedudukan non muslim dalam negara bangsa (nation state), banyak kalangan yang
BELA NEGARA : (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM)
Diskursus bela negara akhir – akhir ini memantik diskusi yang menarik dikalangan masyarakat, hal tersebut tidak lepas dari adanya ancaman disintegrasi bangsa yang setidaknya