TERMA “KAFIR” DALAM NEGARA HUKUM
Sesaat setelah diumumkannya rekomendasi Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Kota Banjar tentang status atau kedudukan non muslim dalam negara bangsa (nation state), banyak kalangan yang menolak rekomendasi tersebut. Setelah saya diskusi dan menyelami landasan argumentasi kelompok yang menolak rekomendasi tersebut ada beberapa rasionalisasi yang didasarkan pada tindakan a priori tanpa terlebih dahulu mempelajari lautan hujjah dan dalil yang telah dinarasikan dalam rekomendasi tersebut. Akibatnya simpulan yang dihasilkan berujung pada misleading atau tidaklah menyebutnya sebagai suatu kesalahan.
Saya menilai penerimaan informasi yang parsial dan distorsif merupakan salah satu penyebab tidak dipahaminya secara utuh substansi dari rekomendasi tersebut. Perlu ditegaskan bahwa rekomendasi komisi bahstul masail diniyyah al-maudhuiyyah (permasalahan kontemporer) itu sama sekali tidak ada intensi apalagi menegasikan otoritas Al-Quran yang telah jelas mengunakan terma “kafir” sebagai penyebutan bagi yang tidak beragama islam.
Dalam konteks teologis, non muslim di Indonesia tetap kafir, hal demikian yang tidak diingkari dari forum Munas ini. Forum ini hanya menyepakati bahwa status non muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain.
Selain pemaknaan kafir secara teologis dalam fiqh siyasah juga dikenal beberapa derivasi istilah kafir seperti halnya kafir muahad, kafir musta'man, kafir dzimmi, dan kafir harbi. Selain kafir harbi, semua kategori kafir diatas wajib mendapatkan jaminan perlindungan dan kemanan laiaknya warga negara yang lain. Jadi secara prinsipil hanya kafir harbi yang boleh diperangi.
Hal demikian sejalan dengan pandangan KH Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Islam antara Perang dan Damai menyebutkan bahwa umat Muslim memang mendapat perintah untuk menghadapi peperangan dengan non-Muslim. Namun, perintah tersebut tidak secara mutlak dan serampangan, hanya non-Muslim yang telah nyata memerangi Muslim saja yang boleh diperangi, dalam konteks ini yaitu kafir harbi.
Rekontekstualisasi terma “kafir” dalam kehidupan bernegara (muamalah) yang disepakati dalam formun Munas Alim Ulama ini, diperlukan agar tidak ada lagi sekat primordialisme atas nama agama yang akhir-akhir ini muncul sebagai akibat dari menguatnya patron politik populisme dan mulai mengakarnya fundamentalisme keberagamaan di kalangan masyarakat.
Negara Hukum
Ada dua jenis negara hukum yang berkembang dalam ilmu hukum, pertama : negara hukum rechsstaat yang dipopulerkan oleh Julius Stahl. Kedua : negara hukum rule of law yang digagas oleh Albert Van Dicey pada tahun 1885 dalam buku berjudul Introduction to the Study of the Law of Constitution. Antara kedua jenis negara hukum tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Julis Stahl mengkonsepsikan empat elemen teori negara hukum rechsstaat : (1) Perlindungan Hak Asasi Manusia. (2) Pembagian Kekuasaan. (3) Pemerintah berdasarkan undang-undang. (4) Peradilan tata usaha negara (Jimly Asshiddiqie, 2008).
Sementara itu Albert Van Dicey menjelaskan karakteristik negara hukum rule of law, yaitu adanya : supremasi hukum (supremacy of law), Persamaan dihadapan hukum (equality before the law), dan Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on Human rights).
Kedua jenis negara hukum tersebut kemudian menyebar ke negara-negara didunia termasuk ke Indonesia dengan berbagai derivasinya yang khas. Kekhasan konsep negara hukum Indonesia adalah diinternalisasinya nilai-nilai pancasila, sehingga para ahli hukum mengistilahkan negara hukum indonesia sebagai negara hukum pancasila.
Egalitarian
Dimanakah relevansi negara hukum pancasila dengan rekomendasi Munas NU tentang status non muslim dalam negara bangsa ? maka jawabannya terletak ada pada irisan egalitarian. Dalam dimensi kebangsaan egalitarian dapat disimplifikasikan sebagai persamaan derajat manusia. Jean Jacques Rouseau dalam bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Kesamaan derajat manusia inilah yang kemudian dalam negara hukum pancasila ditasbihkan sebagai mahkotanya (kemanusiaan yang adil dan beradab; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Bahkan Jimmly Asshiddiqie (2006) dalam bukunya yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia” menyebutkan salah satu karakteristik negara hukum pancasila adalah persamaan dalam hukum (equality before the law) dan dilindunginya hak asasi manusia.
Lebih spesifikasi lagi konstitusi (baca : UUD 1945) sebagai pengejawantahan dari konsep negara hukum pancasila telah mengatur persamaan derajat manusia dihadapan hukum dan pemerintahan, hal itu dapat dilihat dalam Pasal 27 ayat (1) yaitu : “Segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Penyebutan non muslim sebagai warga negara (muwathinun) merupakan salah satu upaya transformatif menciptakan keseteraan (egalitarianisme) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu langkah tersebut adalah bentuk ikhtiar untuk mengangkat derajat manusia, tanpa melihat suku, agama, ras maupun golongan. Rekmonedasi ini kembali mempertegas komitmen NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai persamaan dan kemanusiaan yang sebelumnya telah diperjuangkan oleh almarhum Gus Dur.
Ispan Diar Fauzi, SH, MH.
Dosen STISNU Cianjur
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
AGAMA, NEGARA DAN KOHESI SOSIAL
Bukan tanpa alasan mengapa para pendiri bangsa (founding parents) merumuskan dan memproklamirkan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state), bukan sebagai negara agama (religious st
BELA NEGARA : (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM)
Diskursus bela negara akhir – akhir ini memantik diskusi yang menarik dikalangan masyarakat, hal tersebut tidak lepas dari adanya ancaman disintegrasi bangsa yang setidaknya