SINERGISME SUNI & SYIAH DALAM KAIDAH FIKIH MUMALAH
Tulisan ini merupakan serpihan hasil penelitian penulis berkenaan dengan kaidah fikih muamalah versi mazhab Suni dan Syiah program Litapdimas Kemenag RI Tahun yang selesai dilakukan akhir tahun 2021. Menurut penulis kaidah fikih merupakan sekumpulan hukum universal berkaitan dengan permasalahan fikih yang semula berpencar-pencar dalam beragam kiab fikih, kemudian diikat oleh para ulama menjadi sebuah rumusan hukum, sehingga memudahkan kita ketika memecahkan permasalahan hukum Islam. Dengan kata lain proses terjadinya kaidah fikih tersebut bermula dari temuan para ulama atas beragam kasus yang terjadi di masyarakat, kemudian disusunlah keadaan kaidah fikih yang semula terpencar-pencar tersebut menjadi alat untuk menggali hukum. Inilah yang disebut dengan metede induktif dalam hukum Islam.
Terlepas adanya perbedaan di antara para ulama terkait dengan istilah kaidah dan dabit, baik secara bahasa maupun istilah, yang jelas perbedaan tersebut menampilkan ciri khas kaidah fikih berupa sekumpulan aturan yang di dalamnya menghimpun beragam bab fikih, sedangkan dabit fikih menghimpun bab fikih tertentu. Namun, secara praktik pada kenyataannya perbedaan tersebut tidak mutlak seperti itu. Karena dapat diambil contoh kitab “Al-Qawaid al-Fiqhiah” karya Ibnu Rajab (w. 795 H) (ulama mazhab Hanbali), “Al-Qawaid” karya al-Maqqari (w. 758 H) (ulama mazhab Maliki) dan al-Mansur fi al-Qawaid karya al-Zarkasyi (w. 794 H) (ulama mazhab Syafii). Sepintas terlihat jelas dalam judul kitab tersebut secara eksplisit disebut kaidah, tapi ternyata di dalamnya terdapat juga yang disebut dabit. Ulama yang membedakannya seperti al-Subki (w. 771 H) (ulama mazhab Syafii) dan Ibnu Nujaim (w. 970 H) (ulama mazhab Hanafi) sebagaimana tersebut dalam karya keduanya sama-sama berjudul “Al-Asybah wa al-Nazair”. Tidak jauh berbeda mengenai perbedaan istilah teknis tersebut dikemukakan oleh ulama Syiah, seperti Al-Tarihi sama seperti al-Fayumi dari mazhab Suni mengartikan kaidah semakna dengan dabit. Namun, di sini penulis menggunakan istilah kaidah, karena lebih populer daripada dabit, selain penggunaannya tidak terbatas pada ruang lingkup fikih saja.
Selanjutnya berkaitan dengan sinergisme Suni dan Syiah nampak terlihat jelas kedua mazhab tersebut salah satu contohnya ketika membicarakan kaidah fikih tentang urf dalam akad bai dan ijarah bagian dari bai. Sebagai contoh dikemukakan kaidah fikih berikut ini.
إِنَّ الشَّرْعَ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَحْدُوْدًا فِي الشَّرْعِ رُجِعَ فِيْهِ إِلَى عُرْفِ النَّاسِ وَعَادَاتِهِمْ (البيان في فقه الإمام الشافعي, 5: 182).
Sesungguhnya apabila hukum tersebut tidak ada aturannya,
maka hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia
(Al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafii, 5: 182).
Kaidah fikih tersebut dikemukakan oleh al-Imrani (w. 558 H) (ulama Suni) yang mengandung maksud peranan urf atau adat dapat dijadikan sebagai landasan hukum manakala sesuatu itu tidak ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam nas Al-Qur’an dan hadis. Al-Imrani (w. 558 H) menjelaskan contohnya jika sesuatu itu biasanya ditimbang atau ditakar atau diukur dalam berbagai negara, maka ketika dijualnya harus ditimbang pula. Kemudian jika dalam berbagai negara corak timbangan atau takaran atau ukuran beragam, maka hukumnya dikembalikan kepada keumumannya (Al-Imrani, 2000, 5: 195/182). Demikian pula kaidah yang substansinya sama dikemukakan oleh Sayyid al-Ruhani (ulama Syiah) sebagai berikut.
إِنَّ الْمُعْتَبَرَ اَلْعُرْفُ وَالْعَادَةُ عِنْدَ عَدَمِ الشَّرْعِ
(فقه الصادق, 26: 360).
Sesungguhnya yang dapat dijadikan pertimbangan uruf dan adat
ketika tidak ada ketentuan hukumnya dalam syarak
(Fiqh al-Sadiq, 26: 360).
Kaidah tersebut sama maksudnya seperti dikemukakan ulama Suni sebelumnya berkaitan dengan berlakunya urf atau adat itu manakala tidak terdapat aturan syarak yang menetapkannya. Sayyid Sadiq al-Ruhani menjelaskan kaidah tersebut erat kaitannya dengan hubungan hukum sesuatu yang dapat ditakar dan timbang pada zaman Rasulullah Saw. Oleh karena itu ssesuatu yang sudah biasa ditakar dan ditimbang pada zaman Rasulullah, maka dibangunlah padanya hukum riba. Dengan kata lain ilat hukum (rasio legis) riba pada makanan itu adalah bisa ditakar dan ditimbang. Artinya jika sesuatu itu tidak bisa ditakar dan ditimbang maka tidak ada riba padanya. Selanjutnya kaitannya dengan urf, maka jika sesuatu itu tidak diketahui ditakar atau ditimbang pada masa Rasulullah Saw, maka hal itu dikembalikan kepada urf atau adat masing-masing negara (Al-Ruhani, 2014, 26: 354-355).
Demikian pula ketika kedua mazhab tersebut membicarakan kaidah fikih tentang ijarah bagian dari bai, ulama Suni mengemukakan kaidahnya sebagai berikut.
اَلْإِجَارَةُ بَيْعٌ مِنَ الْبُيُوْعِ (المدونة الكبرى, 3: 115).
Ijarah adalah bagian bai (al-Mudawwanah al-Kubra, 3: 115).
اَلْإِجَارَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْبَيْعِ فَكُلُّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَتْ إِجَارَتُهُ
(الذخيرة, 5: 402).
Ijarah dibangun di atas bai. Setiap sesuatu yang diperbolehkan memperjualbelikannya, maka diperbolehkan juga menyewakannya
(al-Dakhirah, 5: 402).
Kaidah tersebut dikemukakan oleh Imam Malik (w. 179 H) dan al-Qurafi (w. 684 H) yang mengandung maksud ijarah merupakan akad jual beli. Oleh karena itu ijarah dapat rusak disebabkan sesuatu yang dapat merusak akad jual beli. Begitu pun ijarah dapat diperbolehkan disebabkan sesuatu yang dapat membolehkan akad jual beli (Anas, 1994, 3: 115). Sehingga menurut al-Qurafi akad bai itu menjadi dasar akad ijarah. Oleh karena itu setiap sesuatu yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan, maka diperbolehkan juga disewakannya (Al-Zakhirah, 5: 402). Demikian pula ulama Syiah mengemukakan kaidah yang sama dengan Suni berkaitan dengannya sebagai berikut.
إِنَّ الْبَيْعَ مَوْضُوْعٌ لِنَقْلِ الْأَعْيَانِ وَالْمَنَافِعَ تَابِعَةٌ لَهَا
(الروضة البهية, 3: 10).
Sesungguhnya pokok jual beli itu guna memindahkan kepemelikan barang.
Dan manfaat mengikutinya (Al-Raudah al-Bahiyyah, 3: 10).
اَلْإِجَارَةُ كَالْبَيْعِ (المبسوط, 2: 222).
Ijarah itu seperti akad jual beli (al-Mabsut, 2: 222).
Kaidah-kaidah di atas dikemukakan oleh dan al-Tusi (w. 460 H) dan al-Syahid Sani (w. 965 H) yang mengandung maksud akad jual beli itu menjadi dasar atau pokok bagi akad ijarah. Sehingga dikatakan pokok pembicaraan akad ijarah adalah memindahkan kepemilikan manfaat. Sebagaimana akad jual beli pokok pembicaraannya memindahkan kepemilikan zat benda. Hanya saja bedanya kalau dalam akad bai berkaitan dengan akad kepemilikan zat benda sekaligus manfaatnya. Sedangkan dalam akad ijarah hanya kepemilikan manfaatnya saja.
Kesinergian yang muncul dari pemikiran kedua mazhab tersebut yang diungkapkan melalui kaidah urf dalam bai tersebut secara implisit memberikan peluang secara terbuka aplikasi kedua kaidah untuk diterapkan dalam persoalan muamalah kontemporer, seperti jual beli online melalui aplikasi, dan yang lainnya. Demikian pula secara umum antara kedua mazhab tersebut (Suni dan Syiah) terjadi keharmonisan dalam hal pembahasan pokok ijarah yang dapat dikategorikan sebagai jual beli manfaat dan tenaga (bai al-manfaat wa al-quwwat) yang praktiknya juga mengalami perkembangan sesuai karakter fikih Islam yang fleksibel dan dinamis, sekalipun diakui terdapat perbedaan terutama berkaitan dengan sandaran atau rujukan kedua kaidah fikih tersebut.
Penulis : Enang Hidayat
Dosen STISNU Cianjur
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
MEMBUMIKAN FIKIH MAZHAB NEGARA DI INDONESIA
Fikih dan Kanun senantiasa bersinergis dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi dalam upaya mentranformasikan fikih Islam ke dalam hukum nasional, sehingga fikih menjad
KARAKTER PRODUK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
Tulisan saya ini mencoba mengelaborasi tulisan Muhammad Atho Mudzhar yang berjudul “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam” isinya membahas seca
KAIDAH FIKIH DAN KAIDAH USUL FIKIH PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA
Kaidah fikih dan kaidah usul fikih menjadi solusi bagi permasalahan fikih Islam yang bersumber dari corak berpikir induktif. Seandainya tidak ada kaidah fikih dan kaidah usul fikih, mak
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM HUKUM INDONESIA
Upaya bangsa Indonesia menerapkan ajaran hukum Islam telah dilaksanakan. Hal ini ditandai dengan upaya transformasi aturan hukum Islam ke dalam hukum nasional melalui terbitnya Undang-u
FLEKSIBILITAS FIKIH ISLAM
Istilah fikih Islam identik dengan hukum Islam. Namun, dalam belakangan istilah fikih Islam lebih banyak digunakan dalam literatur yang digunakan oleh ulama kontemporer. Contohnya Syekh
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
PRINSIP HUKUM ASAL DALAM BIDANG IBADAH
Perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah adalah dilihat dari segi kaidah umum fikihnya. Dalam persoalan ibadah berlandaskan pada dua kaidah fikih. Pertama, kaidah fikih “Huku
URGENSI HADIS HUKUM EKONOMI SYARIAH
Penulis menyebutnya dengan istilah hadis hukum ekonomi syariah, karena istilah tersebut lebih membumi di kalangan masyarakat, terutama masyarakat umum. Sehingga buku ini selain cocok ja