Antara Agama dan Hutang
Kalau kita melihat kata دين (din atau dain) dapat dibaca dengan huruf dal berharkat fathah atau berharkat kasrah. Berbeda harkat menjadi berbeda pembacaan sekaligus pasti berbeda arti. Huruf dal berharkat kasrah berarti agama atau hari pembalasan. Agama mengajarkan informasi tentang balasan amal pada hari kiamat. Sementara huruf dal berharkat fathah berarti hutang.
Dari pembacaan lafal yang berbeda ternyata menghasilkan arti yang berbeda. Belum lagi dari bentuk dan asal kata, yang dalam bahasa Arab disebut isytiqaq. Asal kata menjadi akar dalam perwujudan huruf menjadi teks, sekaligus mewujudkan arti yang berbeda
Namun terkadang, karena berasal dari akar kata yang relatif sama, kata dengan cara pembacaan yang berbeda memiliki hubungan dengan pembacaan yang lain dalam bentuk teks yang sama.
Makna Agama dan Hutang
Agama merupakan kepercayaan akan realitas tertinggi atau Tuhan atau Allah SWT yang telah memberikan aturan untuk kehidupan manusia. Agama mengajarkan aturan mengenai hubungan diri dengan Allah SWT, sesama manusia, dan alam. Aturan tersebut diperintahkan agar dilaksanakan sehingga manusia selamat di dunia dan di akhirat. Agama pun memberikan informasi tentang hari pembalasan. Hal ini berkaitan dengan keadilan bahwa kebaikan dibalas pahala, keburukan diberikan sanksi. Setiap amal perbuatan dalam pandangan agama akan diperlihatkan balasannya.
Hari pembalasan menjadi peristiwa yang diyakini dalam agama. Seseorang yang beragama dituntut agar mempercayai bahwa di akhirat kelak pembalasan akan ditampakkan. Agama dan hari pembalasan memiliki hubungan makna yang saling berkaitan.
Utang dikenal dalam istilah muamalah. Utang dimaknai sebagai permintaan seseorang untuk dipenuhi dan orang tersebut harus mengembalikannya sesuai waktu yang ditetapkan pada orang yang memberikannya. Makna ini menunjukkan bahwa utang tidaklah bebas, ia harus dipenuhi atau dikembalikan sesuai dengan kesepakatan. Pengembalian menjadi kata kuncinya sehingga utang menuntut kewajiban untuk dilaksanakan.
Begitu pula, pada pelaksanaan kewajiban agama. Ketika seseorang tidak melaksanakan kewajiban agama, ia berhutang pada Allah SWT yang membuat aturan. Hutang ini harus segera dilunasi, dengan landasan kesadaran bahwa dirinya harus membayar yang ditinggalkannya. Misalnya, ketika ia meninggalkan salat, ia harus segera mengganti (qadha') salatnya, meskipun dalam pemikiran ulama hal ini terjadi ikhtilaf khususnya dalam memaknai kata qadha'. Namun prinsipnya, tertinggal meninggalkan sesuatu harus dibayar sehingga merasa nyaman tugasnya telah dipenuhi.
Pemaparan singkat ini mewakili pemahaman bahwa antara agama dengan hutang memilki kaitan dalam pelaksanaan kewajiban yang harus dipenuhi. Sepertinya, cara pembacaan teks yang berbeda dapat menghubungkan makna yang saling berkaitan.
Agama Menginformasikan Hutang
Secara sosial, manusia saling membutuhkan. Kebutuhannya ada yang dapat dipenuhi sendiri juga ada yang berasal dari bantuan atau transaksi orang lain. Ketika seseorang ingin mewujudkan sesuatu, sementara kemampuan ekonomi belum cukup, ia diperbolehkan untuk memghutang kepada sesamanya.
Fikih muamalah mengatur bagaimana transaksi hutang. A meminta pada B untuk diberikan uang, kemudian B memberikan kepada A dengan syarat dan waktu tertentu, uang tersebut harus dikembalikan. Biasanya seperti itu alur transaksi hutang piutang.
Hutang tetap harus dibayar. Ajaran agama sangat mengecam bagi orang yang tidak mau membayar hutang. Bahkan, orang yang meninggal, hutangnya harus dibayarkan oleh ahli waris. Ini menandakan, hutang sangat diperhatikan oleh agama.
Hutang diperbolehkan, namun tetap harus diperhatikan pemenuhannya. Pada QS. Al-Baqarah: 282 disebutkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Ayat ini memberi perintah kepada orang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang piutang, melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Pembuktian itu bisa berupa bukti tertulis atau adanya saksi. Bukti tertulis hendaklah ditulis oleh seorang "juru tulis", yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah: a) Orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga tidak menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain, b) Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian dan transaksi, sehingga dia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji. Karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. (Tafsir Kemenag RI, 2019). Pada era sekarang, pencatatan tersebut dapat d diwujudkan dalam bentuk notaris/pencatat akte jual beli dan utang piutang.
dijelaskan ketentuan orang yang sedang transaksi hutang piutang untuk mencatatnya sebagai bukti yang kuat. Hal ini sebagai bukti yang valid antara keduanya. Melalui ayat ini, agama mengajarkan pemenuhan kewajiban orang yang berhutang sesuai dengan bukti catatannya, sehingga tercipta saling percaya dalam transaksi muamalah.
Hutang sebagai fenomena dalam hubungan sosial digambarkan oleh Al-Qur'an. Ayat merupakan sumber ajaran agama. Dalam kaitan ini, agama memberikan isyarat tentang hutang. Begitupula, hutang memiliki kesamaan dengan pelaksanaan agama dalam sisi pemenuhan kewajiban. Wallahu A'lam
Penulis : Rudi Ahmad Suryadi
Dosen STIS NU Cianjur
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Apa Yang Dibutuhkan Untuk Memahami Ilmu Ekonomi Syariah?
Ekonomi Syariah (ES) menjadi trend dan kajian yang paling banyak diminati hari ini. Buktinya program studi ekonomi syariah dan sejenisnya paling banyak diminati mahasiswa di beberapa PT
Transaksi Online Perspektif Fatwa DSN MUI
Perkembangan transaksi ekonomi syariah tidak hanya dilaksanakan tatap muka. Proses transaksi yang dulu harus bertatap muka, hari ini mengalami perkembangan. Berkat kemajuan IT, beberapa
Transaksi Online Perspektif Fatwa DSN MUI
Perkembangan transaksi ekonomi syariah tidak hanya dilaksanakan tatap muka. Proses transaksi yang dulu harus bertatap muka, hari ini mengalami perkembangan. Berkat kemajuan IT, beberapa
Transaksi Online Perspektif Fatwa DSN MUI
Perkembangan transaksi ekonomi syariah tidak hanya dilaksanakan tatap muka. Proses transaksi yang dulu harus bertatap muka, hari ini mengalami perkembangan. Berkat kemajuan IT, beberapa
Ciri-Ciri Ahlussunnah Wal Jama’ah
Istilah ahlussunnah waljama’ah (اهل السنة والجماعة) sering kita dengar, bahkan mungkin ada sebagian dari kita yang sudah membaca pemikirannya. Istilah ini lebih ak